Sabtu, 28 April 2012

Impian Terakhir Seorang "Nahum Situmorang"

Impian Terakhir Seorang "Nahum Situmorang"


Siapa yang di Indonesia ini yang tidak pernah mendengar lagu Situmorang atau Pulau Samosir? Tidak hanya orang Batak; namun Suku Sunda - Jawa - Menado - Ambon - Minang - nahkan semua orang Indonesi sangat familiar dengan lagu-lagu ini. Namun banyk diantara mereka tidak mengenal siapa penulis dibalik lagu2 fenomenal tersebut. Semoga informasi ini, membantu anda mengenal sosok Maestro Musik Batak khususnya yang telah mengharumkan nama Indonesia ke seluruh dunia.

SUDAH 40 tahun ia wafat, namun namanya kian sering disebut-sebut. Lagu-lagu gubahannya pun tiada putus disenandungkan; menghibur orang-orang, menafkahi pekerja dunia malam, mengalirkan keuntungan bagi pengusaha hiburan dan industri rekaman. Tapi, orang-orang, khususnya etnis Batak dan yang familiar dengan lagu Batak, segelintir saja yang tahu siapa dia sesungguhnya. Ironisnya lagi banyak yang tak sadar bahwa sejumlah lagu yang selama ini begitu akrab di telinga mereka, lahir dari rahim kreativitas lelaki yang hingga ajalnya tiba tetap melajang itu.
Nahum pun menjadi sosok yang melegenda namun tak pernah tuntas diketahui asal-usulnya. Sulit menemukan sumber yang sahih untuk menerangkan seperti apakah dulu proses kreatifnya, peristiwa atau pengalaman pahit apa saja yang memengaruhi kelahiran lagu-lagu ciptaannya, seberapa besar andilnya menumbuhkan semangat kemerdekaan manusia Indonesia dari kuasa penjajah, dan jasanya yang tak sedikit untuk menyingkap tirai keterbelakangan manusia Batak di masa silam. Ia adalah pejuang yang dibengkalaikan bangsa dan negerinya, terutama sukunya sendiri. Seseorang yang sesungguhnya berjasa besar mencerdaskan orang-orang sekaumnya namun tak dianggap penting peranannya oleh para penguasa di bumi leluhurnya.

Nahum sendiri mungkin tak pernah berharap jadi pahlawan
yang akan terus dipuja hingga dirinya tak lagi berjiwa. Pula tak pernah membayangkan bahwa namanya akan tetap hidup hingga zaman memasuki era millenia. Boleh jadi pula tak pernah bisa sempurna ia pahami perjalanan hidupnya hingga usianya benar-benar sirna. Ia hanya mengikuti alur hati dan pikirannya saat melintasi episode-episode kehidupan dirinya yang dipenuhi romantika yang melekat dalam diri para pelakon gaya hidup avonturisme. Tak mustahil pula ia sering bertanya mengapa terlahir sebagai insan penggubah dan pelantun nada dengan tuntutan jiwa harus sering berkelana, bukan seperti saudara-saudara kandungnya yang “hidup normal” sebagaimana umumnya orang-orang di zamannya.

Meski aliran musik yang diusungnya beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang mengadopsi aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba, tembang-tembang gubahannya begitu subtil dan melodius.http://ultimatetextghana.com/ Lirik-liriknya pun tak murahan karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa tinggi, kaya metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan nilai-nilai anutan masyarakat Batak, mampu menyisipkan nasehat dan harapan tanpa terkesan didaktis.

Ia begitu romantik tapi tak lalu terjebak di kubangan chauvinis, juga seseorang yang melankolis namun menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta. Ia melantunkan kegetiran hidup dengan tak meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak, sebagaimana kecenderungan lagu-lagu pop Batak belakangan. Ia gamblang meluapkan luka hati akibat cinta yang dilarang namun tak jadi terjebak dalam sikap sarkastis.
***
NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan penulis lagu, tetapi juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang penuh makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman. Anak kelima dari delapan bersaudara ini lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Februari 1908. Orangtuanya termasuk kalangan terpandang karena ayahnya, Kilian Situmorang, bekerja sebagai guru di sebuah sekolah berbahasa Melayu, di tengah mayoritas penduduk yang kala itu masih buta huruf.

Sebagaimana harapannya pada anak-anaknya yang lain, Kilian pun menginginkan Nahum menjadi pegawai pemerintah kolonial. Harapannya itu tak tercapai meski Nahum sangat memenuhi syarat. Ia lebih senang menjadi manusia bebas tanpa terikat, bahkan di kala usianya masih remaja pun sudah berlayar ke Pulau Jawa, suatu hal yang tak terbayangkan bagi umumnya manusia Batak masa itu. Bukan karena kemampuan orangtuanya, melainkan karena dibawa satu pendeta yang bertugas di Sipirok dan kemudian kembali ke Depok, Jawa Barat, setamatnya dari HIS, Tarutung. Di Jakarta ia sekolah di Kweekschool Gunung Sahari dan kemudian meneruskan pendidikan ke Lembang, Bandung, lulus tahun 1928. Selain sekolah umum, ia memperdalam seni musik, terutama saat bersekolah di Lembang.
Ia turut bergabung dengan kalangan pemuda berpendidikan tinggi yang masa itu diterpa kegelisahan yang hebat untuk melepaskan bangsa dari cengkeraman kuasa kolonial. Mereka kerap berkumpul di bilangan Kramat Raya dan pada saat itulah ia berkenalan dan kemudian menjadi pesaing Wage Rudolf Supratman ketika mengikuti lomba penulisan lagu kebangsaan. Supratman memenangi lomba tersebut dengan lagu ciptaannya Indonesia Raya, Nahum diganjar juara dua.

Sayang sekali, lagu yang diperlombakan Nahum itu tak terdokumentasikan dan hingga kini belum ditemukan. Kabarnya, saat itu ia amat kecewa karena merasa lagu ciptaannyalah yang paling layak menang sebab selain unsur orisinalitas, durasinya pun lebih pendek ketimbang Indonesia Raya. (Unsur orisinalitas lagu Indonesia Raya sempat dipersoalkan, namun kemudian menguap begitu saja karena dianggap sensitif). Lelaki muda yang tengah digelontori idealisme dan cita-cita menjadi seniman musik yang mendunia ini pun memilih pulang ke Sumatera Utara, persisnya ke wilayah Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Sibolga. Di kota pantai barat Sumatera itulah ia jalani pekerjaan guru di sebuah sekolah partikelir H.I.S Bataksche Studiefonds, 1929-1932.
***
TAHUN 1932 itu pula ia hengkang ke Tarutung karena memenuhi ajakan abang kandungnya, Sopar Situmorang (juga berprofesi pendidik), untuk mendirikan sekolah partikelir bernama Instituut Voor Westers Lager Onderwijs. Pemerintah Hindia Belanda coba menghalangi karena saat itu ada peraturan melarang pembukaan sekolah bila dikelola partikelir. Nyatanya Nahum dan Sopar tetap bertahan dan mengajarkan pengetahun umum macam sejarah dunia, geografi, aljabar, selain musik, kepada murid-murid mereka. Sekolah swasta ini bertahan hingga 1942 karena tentara Dai Nippon kemudian mengambilalih kekuasaan Hindia Belanda, lalu menutupnya.

Sebelum sekolah tersebut ditutup Jepang, ia sudah wara-wiri ke Medan untuk menyalurkan bakat sekaligus mengaktualisasikan dirinya yang acap gelisah. Antara lain, bersama Raja Buntal, putra Sisingamangaraja XII, ia dirikan orkes musik ‘Sumatera Keroncong Concours’ dan pada tahun 1936 memenangkan lomba cipta lagu bernuansa keroncong di Medan. Hingga Hindia Belanda dan Jepang hengkang, ia tak pernah mau jadi pegawai mereka. Nahum memang nasionalis tulen dan karenanya memilih bergiat di ranah partikelir ketimbang mengabdi pada penjajah, selain pada dasarnya (mungkin karena seniman) tak menghendaki segala bentuk aturan yang mengekang kebebasannya berekspresi.

Tapi kala itu, mengandalkan kesenimanan belaka untuk menopang kebutuhan hidup taklah memadai, apalagi Nahum senang bergaul dan nongkrong di kedai-kedai tuak hingga larut malam. Tanpa diminta akan ia petik gitarnya dan bernyanyi hingga puas dan dari situlah bermunculan lagu-lagu karangannya. Dan ia bagaikan magnet, kedai-kedai tuak akan dipenuhi pengunjung yang bukan hanya etnis Batak. Orang-orang seperti tersihir mendengar alunan suaranya. Ia memiliki satu keistimewaan karena bisa menggubah lagu secara spontan di tengah keramaian dan tanpa dicatat. (Inilah salah satu penyebab mengapa lagu-lagunya hanya bisa dikumpulkan 120, sementara dugaan karibnya seperti alm. Jan Sinambela, jumlahnya mendekati 200 lagu).

Jenuh berkelana dari satu kedai ke kedai tuak lainnya, dalam kurun waktu 1942-1945, ia coba berwirausaha dengan membuka restoran masakan Jepang bernama Sendehan Hondohan, seraya merangkap penyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang untuk bersantap. Sepeninggal Jepang karena kemerdekaan RI, restoran yang dikelolanya bangkrut. Ia kemudian berkelana dari satu kota ke kota lain sebagai pedagang permata sembari mencipta lagu-lagu bertema perjuangan dan pop Batak. Masa-masa itu pula ia kembali memasuki dunia manusia Batak dengan berbagai puak yang menghuni Sidempuan, Sipirok, Sibolga, Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat, Pematang Siantar, Berastagi, dan Kabanjahe.
Tahun 1949, Nahum kembali menetap di Medan untuk menggeluti usaha broker jual-beli mobil dan tetap bernyanyi serta mencipta lagu, juga kembali melakoni kesenangannya bernyanyi di kedai-kedai tuak. Sesekali ia tampil mengisi acara musik di RRI bersama kelompok band yang ia bentuk (Nahum bisa memainkan piano, biola, bas betot, terompet, perkusi, selain gitar). Periode 1950-1960, menurut kawan-kawan dan kerabatnya, adalah masa-masa Nahum paling produktif mencipta lagu dan tampil total sebagai seniman penghibur. Tahun 1960, misalnya, ia dan rombongan musiknya tur ke Jakarta. Setahun lebih mereka bernyanyi, mulai dari istana presiden, mengisi acara-acara instansi pemerintah, diundang kedubes-kedubes asing, live di RRI, hingga muncul di kalangan komunitas Batak. Pada saat tur ini pula ia manfaatkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk piringan hitam di perusahaan milik negara, Lokananta.
***
SAMPAI usianya berujung, ia tetap melajang. Kerap disebut-sebut, ia didera patah hati yang amat parah dan tak terpulihkan pada seorang perempuan bermarga Tobing, yang kabarnya berasal dari kalangan terpandang. Orangtua perempuan itu tak merestui Nahum yang “cuma” seniman menikahi anak gadis mereka. Cinta Nahum rupanya bukan jenis cinta sembarangan yang mudah digantikan wanita lain. Ternyata, berpisah dengan kekasihnya, benar-benar membuat Nahum bagaikan layang-layang yang putus tali di angkasa; terbang ke sana ke mari tanpa kendali. Ia tetap meratapi kepergian kekasihnya yang sudah menikah dengan pria lain. Sejumlah lagu kepedihan dan dahsyatnya terjangan cinta, berhamburan dari jiwanya yang merana.

Demikian pun Nahum tak hanya menulis sekaligus mendendangkan lagu-lagu bertema cinta. Dari 120 lagu ciptaannya yang mampu diingat para pewaris karyanya, mengangkat beragam tema: kecintaan pada alam, kerinduan pada kampung halaman, nasehat, filosofi, sejarah marga, dan sisi-sisi kehidupan manusia Batak yang unik dan khas. Dan, kendati pada tahun 30-an isu dan pengaturan atas hak cipta suatu karya lagu/musik belum dikenal di Indonesia, Nahum sudah menunjukkan itikad baik ketika mengakui lagu Serenade Toscelli yang ia ubah liriknya ke dalam Bahasa Batak menjadi Ro ho Saonari, sebagai lagu ciptaan komponis Italia.

Nahum pun terkenal memiliki daya imajinasi serta empati yang luarbiasa. Tanpa pernah mengalami atau menjadi seseorang seperti yang ia senandungkan dalam berbagai lagu ciptaannya, ia bisa menulis lagu yang seolah-olah dirinya sendiri pernah atau tengah mengalaminya. Salah stau contoh adalah lagu Anakhonhi do Hamoraon di Au (Anakkulah kekayaanku yang Terutama). Lagu bernada riang itu seolah suara seorang ibu yang siap berlelah-lelah demi nafkah dan pendidikan anaknya hingga tak mempedulikan kebutuhan dirinya. Lagu tersebut akhirnya telah dijadikan semacam hymne oleh kaum ibu Batak, yang rela mati-matian berjuang demi anak. Ketika menulis lagu itu Nahum layaknya seorang ibu.
Kemampuannya berempati itu, bagi saya, masih tetap tanda tanya, karena ia lahir dan besar di lingkungan keluarga yang relatif mapan karena ayahnya seorang amtenar yang tak akrab dengan kesusahan sebagaimana dirasakan umumnya orang-orang yang masa itu, sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terbilang sulit. Ia pun tak pernah berumahtangga (apalagi memiliki anak) hingga mestinya tak begitu familiar dengan keluh-kesah khas orangtua Batak yang harus marhoi-hoi (susah-payah) memenuhi keperluan anak.

Juga ketika ia menulis lagu Modom ma Damang Unsok, laksana suara lirih seorang ibu yang sedih karena ditinggal pergi suami namun tetap meluapkan cintanya pada anak lelakinya yang masih kecil hingga seekor nyamuk pun takkan ia perkenankan menggigit tubuh si anak. Ia pun menulis lagu Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda yang menggambarkan susahnya hati karena jatuh cinta lagi pada perempuan yang datang belakangan sementara ia sudah terikat perkawinan, seolah-olah pernah mengalaminya.


Kesimpulan saya, selain memiliki daya imajinasi yang tinggi, Nahum memang punya empati yang amat dalam atas diri dan kemelut orang lain. Dalam lagu Beha Pandundung Bulung, misalnya, ia begitu imajinatif dan estetis mengungkapkan perasaan rindu pada seseorang yang dikasihi, entah siapa. Simak saja liriknya: Beha pandundung bulung da inang, da songonon dumaol-daol/Beha pasombu lungun da inang, da songon on padao-dao/Hansit jala ngotngot do namarsirang, arian nang bodari sai tangis inang/Beha roham di au haholongan, pasombuonmu au ito lungun-lungunan.

Ia lukiskan perasaan rindu itu begitu sublim, indah, namun tetap menyisipkan nada-nada kesedihan.
Mengentak pula lagunya (yang dugaan saya dibuat untuk dirinya sendiri) berjudul Nahinali Bangkudu. Lirik lagu itu tak saja menggambarkan ironi, pun tragedi bagi sang lelaki yang akan mati dengan status lajang. Dengan pengunaan metafora yang mencekam, Nahum meratapi pria itu (dirinya sendiri?) begitu tajam dan menusuk kalbu: Atik parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk-burukni rere. Ironis sekaligus tragis.
***
SAYA termasuk beruntung karena semasih bocah, 1969, beberapa bulan sebelum kematiannya, menyaksikannya bernyanyi di Pangururan bersama VG Solu Bolon. Saya belum tahu betul siapa Nahum Situmorang dan menurut saya saat itu show mereka begitu monoton dan kurang menggigit karena tanpa disertai instrumen band. Ia tampil parlente dengan kemeja dan celana warna putih, walau terlihat sudah tua. Rupanya ia sudah digerogoti penyakit (kalau tak salah lever) namun tetap memaksakan diri bernyanyi ke beberapa kota kecil di tepi Danau Toba hingga kemudian meninggal dunia di usia 62 tahun.
Lewat karya-karyanya, seniman-seniman Batak telah ia antarkan melanglang ke manca negara, macam Gordon Tobing, Trio The Kings, Amores, Trio Lasidos, dan yang lain. Lewat lagu-lagu gubahannya pula banyak orang telah dan masih terus diberinya nafkah dan keuntungan. Sejak remaja telah ia kontribusikan bakat dan mendedikasikan dirinya untuk negara dan Bangso Batak. Lebih dari patut sebenarnya bila mereka yang pernah berkuasa di seantero wilayah Tano Batak memberi penghargaan yang layak bagi dirinya, katakanlah menyediakan sebuah kubur di Samosir yang bisa dijadikan monumen untuk mengenang dirinya.
Para pewaris karya ciptanya yang sudah ditetapkan hakim PN Medan, 1969, sudah lama berkeinginan memindahkan jasadnya dan membuat museum kecil di Desa Urat, Samosir, sebagaimana keinginan Nahum. Diharapkan, para penggemarnya bisa berziarah seraya mendengar rekaman suaranya dan menyaksikan goresan lagu-lagu gubahannya. Rencana tersebut tak lanjut disebabkan faktor biaya dan (sungguh disesalkan) di antara para pewaris yang sah itu, yakni keturunan abang dan adik Nahum, terjadi perpecahan lantaran persoalan pengumpulan royalti.
***
Di tengah proses penyiapan proposal, tiba-tiba saya dengar ada seorang dongan sabutuha (teman satu marga) yang belum lama berprofesi pengacara, mendirikan satu yayasan pengelola karya cipta Nahum Situmorang. Dirangkulnya kubu yang berselisih dengan kelompok Tagor (juga keponakan kandung Nahum) dan sejak itulah beruntun “kejadian hukum” yang hingga kini belum terselesaikan dan akhirnya menyeret-nyeret pedangdut Inul Daratista karena tuduhan tak membayar royalti yang diputar di karaoke-karaoke Inul Vista.

Saya pun lantas menghentikan langkah, semata-mata karena merasa tak elok bila dianggap turut meributkan royalti atas karya cipta seseorang yang sudah wafat dan sangat berjasa bagi Bangso Batak, selain seseorang yang amat saya kagumi. Konser batal, pemindahan kerangka dan pembangunan museum Nahum terbengkalai.

1 komentar:

  1. Tulisan yang bagus dan sangat menggugah.. berharap pemindahan tulang belulang dan makamnya serta pembuatan semacam situs peringatan jasa2 ybs di Urat Samosir, bisa segeea diwujudkan.. Bangga punya anak bangsa seperti sang Maestro Nahum Situmorang... Horas

    BalasHapus